Kado Terindah Bukanlah Barang Mewah
Oleh: administrator admin | 26 November 2025
Setiap tanggal 25 November, lini masa media sosial kita dipenuhi warna-warni perayaan. Bunga buket raksasa, kue tart bertingkat, hingga bingkisan bermerek menghiasi meja-meja guru di seluruh penjuru negeri. Sebagai seorang guru, saya tentu tersentuh. Siapa yang tidak bahagia merasa diperhatikan? Namun, di balik tumpukan kado itu, ada rasa "risih" yang perlahan menggerogoti hati saya.
Tanpa kita sadari, Hari Guru Nasional perlahan bergeser menjadi ajang "perlombaan". Ada kompetisi tak tertulis antar-siswa, bahkan antar-kelas, tentang siapa yang bisa memberikan hadiah paling "wah" kepada wali kelas atau guru favoritnya.
Pergeseran Makna Apresiasi
Niat siswa dan wali murid tentu mulia: memuliakan guru. Namun, ketika apresiasi diukur dengan nominal harga, kita sedang mengajarkan nilai yang keliru. Sekolah, yang seharusnya menjadi ruang inklusif, tiba-tiba menjadi panggung ketimpangan ekonomi.
Bayangkan perasaan seorang siswa dari keluarga sederhana yang melihat teman sebangkunya membawa bingkisan mahal, sementara ia hanya mampu membawa doa atau selembar surat. Di situ timbul rasa minder, rasa tidak cukup, dan tekanan sosial yang tidak seharusnya ada di lingkungan pendidikan.
Saya sering mendengar keluhan samar dari para orang tua yang merasa "terpaksa" ikut patungan atau membelikan hadiah karena takut anaknya dianggap pelit atau—lebih buruk lagi—takut anaknya tidak diperhatikan oleh guru jika tidak memberi kado. Jika ini yang terjadi, maka esensi Hari Guru telah ternoda.
Beban Moral Guru
Bagi kami para guru, hadiah-hadiah mahal itu justru sering kali menjadi beban psikologis. Pertama, ada etika profesi (bahkan aturan gratifikasi bagi guru ASN) yang membatasi penerimaan hadiah. Kedua, kami khawatir hadiah tersebut menciptakan bias tak sadar dalam cara kami mengajar atau menilai. Kami tidak ingin hubungan tulus antara guru dan murid berubah menjadi transaksional.
Saya menjadi guru bukan untuk menumpuk barang pemberian. Kepuasan batin saya tidak datang dari buket uang atau tas baru.
Kado yang Sebenarnya Kami Inginkan
Lantas, apa yang membuat kami bahagia?
Kado terindah bagi seorang guru adalah melihat muridnya beretika baik. Sapaan tulus "Selamat Pagi, Pak/Bu" dengan senyum sopan jauh lebih berharga daripada cokelat mahal. Melihat kalian mengerjakan tugas dengan jujur, tidak menyontek, dan saling menghargai teman, itu adalah hadiah yang menyejukkan hati kami setiap hari.
Jika kalian ingin memberi sesuatu di Hari Guru, berikanlah kami "surat cinta"—tulisan tangan berisi kesan, kritik, atau sekadar ucapan terima kasih. Itu akan kami simpan seumur hidup, jauh lebih awet daripada bunga yang akan layu dalam tiga hari.
Penutup
Mari kita normalisasi perayaan Hari Guru yang sederhana namun bermakna. Hentikan budaya "saweran" kado yang memberatkan. Biarkan Hari Guru menjadi momen refleksi, bukan ajang pamer materi.
Kepada anak-anakku tercinta, simpan uang saku kalian untuk masa depan kalian. Keberhasilan kalian menjadi manusia yang berguna kelak, itulah kado paling mewah yang bisa kalian berikan kepada kami.
Selamat Hari Guru Nasional. Rayakanlah dengan hati, bukan dengan materi.